Nindi, dalam bahasa Yali berarti hati. Semua yang kami kerjakan dari hati dan akan kembali kepada perasaan pelanggan.Pokoknya kami melayani dengan hati.” (Ismael Walianggen, Pengelola Kafe Nindi)

Kafe gerobak berwarna hitam di Jalan Pasir No. 27 Sentani, Kabupaten Jayapura berada tepat di pinggir jalan. Remang cahaya menerangi kafe malam itu bersumber dari senter handphone yang diletakkan dibagian atas gerobak.
Dibelakang gerobak tiga orang muda – mudi, Nare – Nehe asal Kabupaten Yalimo, tengah sibuk meracik kopi melayani beberapa orang pembeli. Harum aroma kopi pun segera menyebar ke udara.
Perlahan saya melangkah menghampiri gerobak kopi tersebut. Tampak beberapa peralatan untuk meracik kopi Sorot mata yang berbinar dari sesosok pemuda disusul dengan sapaan yang ramah menyambut kehadiran saya. Dengan segera ia mempersilakan saya duduk di kursi plastik yang berada tepat disamping gerobak.
“Selamat malam. Nama saya Ismael Walianggen, Penanggung-jawab gerobak kopi disini,” sapanya.
Tak lama kami pun larut dalam diskusi kecil, dimulai dengan sebuah pertanyaan bagaimana ia mulai terjun di usaha kafe kopi.
Ismael Walianggen, pemuda kelahiran tahun 1990, asal distrik Apahapsili, Kabupaten Yalimo, telah menuntaskan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) Jakarta pada tahun 2014.
Sekembalinya ke kampung halaman, ia pun tersentuh melihat buah nanas hasil kebun yang jumlahnya melimpah, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Nanas di kampung lebih banyak dikonsumsi begitu saja, untuk menghilangkan dahaga. Saya pikir potensi yang kami punya harus dimaksimalkan menjadi produk. Buah nanas diolah lagi menjadi sirup dan selai supaya bisa didistribusikan dari kampung hingga ke kota,” tuturnya.
Untuk mendukung usahanya, Ismael Walianggen pun mendirikan CV. SWIIS IKMAL-HOW. Selain itu ia juga menjadikan usaha ini sebagai bagian dari Ikan Keluarga Malinwareg – Howursili (IKMAL-HOW), dengan niat mulia untuk memberikan sumbangsih kepada organisasi dari sebagian keuntungan yang diperoleh dengan tujuan untuk membantu studi yuniornya.
“Saya melibatkan beberapa orang adik – adik mahasiswa menjaga gerobak ini agar mereka juga belajar tentang kewirausahaan dan kemandirian. Kami mulai buka dari pagi hingga malam hari dan dibagi dalam 2 shift,” terangnya.


(Foto: Dokpri Ismael Walianggen)
Jatuh bangun Ismael memproduksi sirup dan selai nenas serta memasarkannya, pada tahun 2020 ia pun bertekat ke Jayapura.
Singkat cerita, Ismael pun melakukan pendekatan kepada Dinas Sosial Provinsi, Dinas Perindakop Kota Jayapura dan Disperindakop Provinsi Papua untuk mendapatkan bantuan. Dukungan yang ia terima berupa gerobak, pelatihan UMKM, fasilitasi pIRT dan menjadi UMKM Binaan instansi pemerintah.
“Kami sudah pernah mengikuti beberapa kali pameran dan festival. Saat PON Papua XX kami menyiapkan 1500-an botol selai dan sirup, sementara saat Peparnas XVI Papua sekitar 600-an dan semuanya habis,” katanya dengan bangga.
Ia pun melanjutkan ceritanya, bahwa selama enam bulan belakangan atau tepatnya setelah mendapatkan pelatihan barista, pihaknya mencoba melakukan inovasi yakni menciptakan resep baru yang ia sebut “napi” alias nanas kopi, minuman kopi yang dicampur dengan sirup nanas.
“Ini bukan “napi” narapidana, bukan napi Biak, tapi nanas kopi. Kami jual dengan harga 25rb – 30rb per cupnya,” kata Ismael mempromosikan produk barunya.
Saya pun diajak menghampiri gerobak dan melihat dari dekat bagaimana mereka meracik kopi nanas, dan mencicipinya.
Kopi nanas ini rasanya cukup unik perpaduan antara pahitnya kopi dengan manis asamnya nanas, demikian pula aromanya. Nikmat!
Ismael Walianggen merasa optimis usaha kafenya akan berkembang. Ia berharap anak – anak muda Yalimo tak malu untuk berwirausaha dan menunjukkan kepada pemerintah daerah bahwa anak – anak muda bisa mengembangkan kreatifitasnya dan kemandiriannya.
“Saya punya keinginan untuk menyewa tempat untuk kafe, saya ingin mengembangkan usaha menjadi lebih besar lagi,” kata dia menutup diskusi kami. (YA/***)
Kategori:Citizen