“Nama saya Leoni. Semua orang heran kenapa aku sangat aneh. Tidak ada yang punya penjelasan yang bagus. Yang aku inginkan hanya menjadi seperti yang lain. Orang – orang memandangku dengan skeptis. Aku berharap aku akan segera berubah sehingga aku menjadi seperti yang lain.” (Kutipan Dialog Like The Others)

Film Like The Others (Wie Die Anderen) pada menit pertama dimulai dengan gambar sebuah tampilan ruangan yang memperlihatkan seorang anak yang sedang menjalani sesi terapi. Ia mengungkapkan isi hatinya dan sang terapis terlihat sibuk mencatat. Di meja terlihat sebuah gambar (sketsa) yang memberi kesan inilah bagian dari sesi terapi yang harus dijalani. Mungkin sang terapis ini adalah psikolog atau psikiatri yang berusaha mendalami pasiennya.
“Nama saya Leoni. Semua orang heran kenapa aku sangat aneh. Tidak ada yang punya penjelasan yang bagus. Yang aku inginkan hanya menjadi seperti yang lain. Orang – orang memandangku dengan skeptis. Aku berharap aku akan segera berubah sehingga aku menjadi seperti yang lain.” Inilah dialog di awal film yang mengantarkan penonton untuk masuk lebih dalam dan menyimak persoalan yang diangkat melalui rangkaian gambar dalam film.
Mengikuti film arahan sutradara Constantin Wulff pada menit – menit awal cukup membingungkan. Penonton diajak untuk menyimak adegan sesi konsultasi yang dilanjutkan dengan adegan rapat tim medis yang membahas si pasien. Adegan – adegan tersebut berulang dilakukan sepanjang film dengan subyek pasien berikut riwayat medis yang berbeda.
Pembuat film tidak berfokus pada pasien, riwayat penyakitnya ataupun terapis (tim medis) sebagai subyek utama dalam film. Film ini mengikuti sebuah isu tentang kesehatan mental anak, dan dikemas menjadi sebuah dokumenter yang didasarkan pada observasi.
Penonton diajak untuk mengikuti bagaimana sebuah instansi medis bekerja menangani pasiennya. Dalam hal ini ada 5 pasien yang semuanya berusia anak – anak dengan kebutuhan khusus (penderita autisme, gangguan kejiwaan) yang harus ditangani. Subyek anak berjumlah 5 orang ini menjadi sebuah komparasi bagaimana treatmen medis yang dilakukan pada pasien yang berbeda.
Sesi – sesi terapi yang dilakukan menggambarkan bagaimana pasien mendapatkan penanganan. Petikan dialog wawancara antara dokter/ terapis kepada pasiennya, pendekatan yang ia lakukan kepada pasien, bagaimana observasi dilakukan, kemudian hal tersebut dibawa dalam ruang rapat dimana para ahli mendiskusikan penanganan yang harus dilakukan memberi kesan bahwa mereka sangat serius melakukan berbagai upaya untuk kesembuhan pasiennya. Bahkan dalam beberapa dialog, tim medis acapkali membahas latar-belakang anak, misalnya saja hubungan antara pasien dengan orang tuanya, sebagai bagian dari upaya bagaimana memberikan penanganan medis yang tepat.
Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah tidak ada musik yang melatar-belakangi setiap adegan di sepanjang film. Meski agak membosankan bagi penonton awam, film ini menarik untuk disimak khususnya bagi pemerhati kesehatan dan menjadi isu yang kuat untuk disuarakan.
Keseluruhan gambar dalam film ini diambil di sebuah instansi rumah sakit (RS Negeri Austria). Setting ruangan berpindah dari ruang konsultasi, ruang perawatan, ruang rapat, lorong rumah sakit, ruang rekam medis dan ruangan lainnya yang semuanya masih berada di lingkup rumah sakit.
Adegan sesi pertemuan antara dokter/ terapis dengan pasiennya dan adegan rapat mendominasi film ini. Komposisi gambar medium close up dan close up saat sesi konsultasi dan ketika rapat berlangsung ingin menunjukkan relasi yang dekat antara tim medis dan pasiennya.
Rangkaian gambar dalam film membangun kesan bagaimana keseriusan tim medis dalam menangani pasiennya. Adegan sesi konsultasi dan sesi rapat telah mencerminkan kesan tersebut, namun gambaran lain yang dimunculkan misalnya saja adegan di ruang informasi (seorang wanita sedang berkomunikasi melalui telepon memberikan informasi mengenai pasien pada menit awal film ini), adegan di ruang rekam medis, ruang jaga, ruang makan dan lorong rumah sakit, memperkuat kesan yang dibangun melalui film.
Ada cukup banyak gambar yang mencengangkan, diantaranya bagaimana tim medis harus menangani pasien anak yang mempunyai kecenderungan melukai (menyilet) diri sendiri, bagaimana medis berupaya menangani pasien anak imigran, menangani pasien anak yang ditinggalkan orang tuanya dan bagaimana perdebatan diantara tim medis untuk mengatasi keterbatasan instansi.
Secara keseluruhan, rangkaian adegan dalam film menunjukkan upaya serius dan kerja keras institusi medis untuk menjawab sebuah harapan di awal film ini, yakni harapan kesembuhan pasien (anak-anak) agar mereka sama seperti anak lainnya.
Film ditutup dengan gambar rumah sakit saat musim dingin (musim salju), sementara peristiwa dalam film mungkin diambil saat musim panas atau musim semi. Ini menjadi sebuah metafora. Mungkin saja pembuat filmnya ingin menyampaikan kepada penonton bahwa tim medis akan tetap bekerja di setiap musim tanpa mengenal lelah. (***/YAJ)
Disclaimer: Tulisan ini dihasilkan di School of Seeing 2021, lokakarya analisis film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs dan didukung oleh Yayasan Cipta Citra Indonesia.
Kategori:Ruang Film Imaji