Ulat sagu sudah lama dikenal sebagai bahan pangan lokal di Papua dan diolah dalam berbagai varian kuliner.

Ketika mendengar kata ulat mungkin terdengar ‘geli’ di telinga. Apalagi mungkin pernah membaca, mendengar atau melihat di tayangan televisi ulat sagu hidup dapat dikonsumsi langsung. Tapi benarkah ulat sagu memiliki rasa yang sangat lezat?
Ulat sagu berasal dari batang pohon sagu yang ditumbangkan dan didiamkan selama lebih kurang tiga bulan lamanya. Empulur atau bagian dalam batang pohon sagu ini penuh dengan tepung yang menjadi makanan ulat sagu.
Ulat sagu sendiri sebenarnya adalah larva kumbang penggerek Rhynchophorus ferrugineus dengan ciri berwarna putih berukuran 3 – 4 cm.
Ulat sagu memiliki kandungan protein yang tinggi dan rendah kolestrol. Masyarakat asli Sentani Kabupaten Jayapura, khususnya ibu – ibu yang baru melahirkan biasanya mengkonsumsi ulat sagu. Mereka percaya ulat sagu berkhasiat mempercepat proses pemulihan setelah persalinan.
Namun dalam beberapa kasus, kandungan protein ulat sagu yang tinggi dapat menyebabkan reaksi alergi yakni ruam merah dan gatal.

Ulat sagu, sebutan lainnya sabeta, biasa diolah dalam berbagai varian kuliner. Ada pula yang mengkonsumsi ulat sagu mentah.
Cara mengkonsumsi ulat sagu mentah cukup mudah. Pertama, jepit bagian kepala ulat sagu menggunakan jari kemudian gigit dengan cepat dan telan. Ulat sagu mentah memiliki rasa yang gurih dan sedikit beraroma sagu. Jika digigit akan mengeluarkan cairan manis dengan rasa agak kenyal.
Olahan ulat sagu lain yang cukup populer ialah sate ulat sagu. Sate ulat sagu memiliki tekstur agak keras dibagian luar namun lembut dan gurih dibagian dalam. Meski tanpa tambahan bumbu, rasanya sungguh nikmat. Dan patut untuk dicoba.
Selain di sate, varian lain olahan ulat sagu yakni dimasak dengan cara direbus, ditumis atau dicampur dengan bahan makanan lain seperti sagu, jamur atau sayur lilin.
Selamat icip – icip.
Kategori:Kuliner