Citizen

Kisah Maximus Anak Adat Kampung Keakwa Mimika

Kampung Keakwa memiliki garis pantai yang panjang nan indah. Di tempat ini tersimpan benda peninggalan sejarah yang dijaga oleh warga kampung. Keakwa yang indah dengan alamnya yang masih terjaga, kelak akan menjadi primadona wisata bahari di Kabupaten Mimika.

Kampung Keakwa adalah salah satu kampung di Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika. Kampung Keakwa dapat dicapai menggunakan perahu motor dari pelabuhan Pomako, Timika, dengan jarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan.

Di kampung inilah, beberapa waktu sebelumnya Maximus Tipagau, pendiri Yayasan Somatua, diangkat sebagai anak melalui ritual adat. Maximus Tipagau diangkat sebagai anak oleh Bapa Agus – Mama Fransina dan diberi marga Waukateyau.

Maximus Tipagau adalah salah satu figur anak Papua yang sukses dalam industri pariwisata dan memiliki jejaring bisnis tour & travel internasional. Salah satu kisah suksesnya ialah membangun wisata Cartenz Pyramid.

Kampung Keakwa (Sumber foto: Dok. Maximus Tipagau/ Yayasan Somatua)

Mengunjungi Kampung Keakwa & Ritual Adat

Matahari mulai condong ke barat, ketika rombongan Maximus Tipagau – Waukateyau tiba di Kampung Keakwa pada pertengahan Juni lalu.

Tiba di Kampung Keakwa, rombongan ini disambut oleh warga yang memang sudah menanti kedatangannya. Ada sebuah harapan dari masyarakat terselip dibahunya, dan ada panggilan pelayanan untuk anak adat yang baru dikukuhkan pada awal Juni lalu.

Maximus Tipagau, Sang Gladiator Papua saat dikukuhkan menjadi anak adat Kampung Keakwa (Sumber foto: Dok. Maximus Tipagau/ Yayasan Somatua)

“Anak kesini untuk bangun Kampung Keakwa. Diharapkan oleh mama – mama, bapa – bapa, kakak – kakak, dan om – om, untuk hari depan…Keakwa punya sejahtera karena anak sudah jadi anak Keakwa,” pesan Bapak Waukateyau kepadanya suatu siang.

Maximus Sang Gladiator Papua dengan segudang pengalamannya di dunia pariwisata merangkul warga Keakwa untuk bersama – sama membangun kampung tersebut. Yayasan Somatua yang menaunginya menginisiasi pembangunan homestay dan menghidupkan kembali pabrik sagu yang pernah ada di kampung itu.

Pembangunan homestay dimulai dengan ritual adat, yakni menyalakan sebatang rokok dan diletakkan di hutan di pinggir kampung.

“Rokok ini saya persembahkan untuk moyang dan tete – tete dengan tujuan tete dan moyang disini tetap bersama kita, memperjuangkan kehidupan yang lebih baik di Kampung Keakwa,” terang Maxi sembari meletakkan rokok diantara akar – akar pohon.

Usai ritual menyalakan rokok untuk nenek moyang, Maxi pun melanjutkan perjalanan masuk ke kampung baru untuk mengunjungi orang tua angkatnya dan meminta restu pembangunan homestay.

Homestay yang hendak dibangun berlokasi di Kampung Keakwa lama. Dan, pembangunan homestay dimulai dengan kerja bakti pembersihan lahan.

Ritual Omoko Etae Untuk Mengawali Pembangunan Homestay

Omoko etae adalah bahasa suku Kamoro, omoko berarti pondok dan etae berarti daun, sehingga omoko etae berarti pondok daun.

Ritual adat omoko etae untuk mengawali pembangunan homestay, dilaksanakan saat kunjungan ke empat ke kampung Keakwa, pada Sabtu (27/6/2020).

Ritual ini dijalankan sebelum matahari terbit. Seorang tetua adat bernama Yohakim Amareyau memluai ritual dengan menyembelih seekor ayam jantan putih.

Ritual Makan Tanah (Sumber foto: Dok. Maximus Tipagau/ Yayasan Somatua)

Prosesi selanjutnya, Maximus Tipagau didampingi istri dan putra bungsunya menjalankan prosesi “makan tanah”, yakni memberikan seserahan berupa uang, diikuti warga serta tamu undangan lainnya. Persembahan lain yang diberikan berupa rokok, sirih pinang, barang pecah belah yakni piring dan gelas.

Semua persembahan itu kemudian dimasukkan ke dalam Te (tanah adat) yang sudah digali/ liang, sebuah persembahan kepada leluhur. Tujuannya agar selama proses pembangunan homestay pekerjaan dapat berjalan dengan lancar dan kesehatan pekerjanya dijaga.

Ritual adat omoko etae adalah tradisi atau kearifan lokal yang dimiliki oleh suku Kamoro yang mendiami kampung Keakwa. Ritual ini tidak diikuti oleh semua orang, hanya ada tiga marga yang mengikuti prosesinya yakni Imiri, Taurako dan Kanare Kimra.

Wisata Sejarah Kampung Keakwa

Pantai Keakwa dengan peninggalan perang dunia kedua (Sumber foto: Dok. Maximus Tipagau/ Yayasan Somatua)

Kampung Keakwa dengan pantai pasir putihnya yang memanjang, selain indah juga menyimpan peninggalan sejarah. Puing – puing sisa peninggal perang dunia kedua yang ditinggalkan oleh Jepang dan Amerika masih dapat dijumpai hingga saat ini, yakni berupa tank, meriam, pesawat tempur, mortir dan peluru.

Kampung yang pernah menjadi basis pertahanan Jepang saat perang dunia kedua ini, menyimpan kekayaan alam yang lain, yakni udang, kepiting, dan ikan yang berlimpah.

Selain itu, garis pantai yang landai dan laut lepasnya juga menjadi perlintasan khususnya bagi wisatawan barat. Sehingga, di lokasi ini sangat cocok di bangun homestay serta dikembangkan sebagai obyek wisata.

Sumber: Yayasan Somatua

Kategori:Citizen

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.