Tak bisa dipungkiri bentang alam Jayawijaya memang sungguh indah. Rerumputan dan pepohonan menyelimuti lapisan perbukitan bak permadani hijau.
Diantara lekukan – lekukan perbukitan hijau dan rimbunnya hutan tropis, disana ada rumah – rumah warga dan perkampungan.
Kampung Wukahilapok adalah salah satu kampung di distrik Pelebaga. Jarak antar rumah warga (baca: honai) cukup berjauhan.

Pagi itu, saya bersama tim kecil kami mengunjungi honai bapak Tobias Petrus Lobere yang akrab di sapa dengan nama panggilan bapa Mage. Kami mengunjungi beliau untuk keperluan pengambilan gambar dokumenter.
Perjalanan ke tempat tujuan ternyata melalui medan yang tak biasa. Dari kantor kampung ke honai bapa Mage hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak di urat – urat perbukitan.
Beruntung hari itu cuaca bagus, sebab medan yang kami lalui cukup terjal nan curam dan pastinya menjadi licin saat hujan tiba. Bagi warga kampung medan tersebut ialah medan yang ‘biasa’ mereka lalui hari – hari, namun bagi saya ini menjadi perjalanan yang luar biasa.
Bersama kami beberapa orang warga dan anak – anak menyertai perjalanan kami. Dengan ceria anak – anak kecil berlarian melalui jalan setapak, menginjak akar – akar pohon dan menyebrangi anakan sungai.
Suasana perkampungan yang adem, keceriaan anak – anak dan pemandangan alam yang indah sehingga membuat kami menikmati perjalanan ini dan tak berasa lelah.

Setelah lebih kurang satu setengah jam berjalan kaki, tibalah kami di honai adat untuk berjumpa dengan bapa Mage.
Honai ini berada di atas bukit, dikelilingi pagar kayu dengan ranting di atasnya. Untuk masuk ke dalam honai kami masuk melalui pintu yang cukup tinggi.
Rupanya, Bapa Mage sudah siap menyambut kami setelah mendapat kabar satu hari sebelumnya. Dengan ramah ia menyambut kami, bahkan menyiapkan hidangan bakar batu, yakni hipere (keladi) dan sayur lilin.
Bapa Mage pun meminta kaum perempuan yang tinggal di honai untuk menyiapkan hidangan bakar batu. Sementara itu ia menunjukkan bagian dalam honai.
Sebagaimana honai Wamena pada umumnya, honai Bapa Mage pun dibagi menjadi beberapa bagian; ada honai perempuan, honai laki – laki, dapur, kandang babi dan kebun yang tak jauh dari honai. Honai ini dihuni oleh beberapa marga, sebagai keluarga besar.
Ia pun bercerita tentang banyak hal; tentang keseharian mereka dalam honai, noken hingga pembagian peran antara pria dan wanita dalam honai.
Obrolan terhenti ketika masakan bakar batu siap dihidangkan. Kami pun mengikuti kebiasaan di dalam honai, duduk melingkar bersama penghuni honai yang lain, sementara beberapa orang dengan sigap membagikan hipere bakar dan sayuran untuk dinikmati. Lezatnya hipere dan sayur seketika meluncur di dalam perut untuk melawan dinginnya udara pegunungan Jayawijaya.
Indahnya sore itu, sejenak merasakan kehangatan di honai. Terima kasih Bapa Mage, untuk pengalaman yang tak kan terlupakan ini.
Catatan Kaki November 2019 di publish pada 02 02 2020.

Kategori:Jelajah Negeri
Papua ini bener-bener kaya akan budaya dan kearifan lokal, ya. Wajib banget masukin Papua jadi daftar destinasi yang ingin dikunjungi. Thanks for sharing!
SukaSuka