Menikmati suasana Kampung Wukahilapok di Jayawijaya mulai dari melawan udara dingin, melewati jalan setapak nan terjal hingga nikmatnya hipere bakar batu adalah petualangan yang luar biasa.
Kampung Wukahilapok, Distrik Palebaga, Kabupaten Jayawijaya letaknya tidak jauh dari kota, tak sampai 1 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Hanya saja untuk menuju kampung yang terletak di atas bukit ini kondisi jalan belum teraspal dan medannya cukup terjal dan curam.
Pagi itu kami agak terburu untuk segera sampai di kampung.Langit Kota Wamena yang dihiasi mendung tebal dan rintik hujan mulai runtuh, membuat sopir truk agak terburu. Yup, kami memilih menggunakan truk karena hari itu pas tidak dapat mobil dobel gardan yang bisa disewa.
“Ibu minta maaf, saya harus cepat – cepat sebelum hujan tiba kita harus sampai disana karena ada tanjakan terjal yang harus dilewati. Kalau hujan tanah pecek, truk tidak bisa lewat,” kata sopir yang mengantarkan kami.

Tak lama kemudian, truk yang membawa kami pun berhenti tepat di depan kantor kampung, yang menjadi “terminal terakhir”, karena untuk masuk lebih jauh ke dalam kampung hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Namun, untuk sementara di kantor kampung inilah rombongan kecil kami akan menginap.
Kantor kampung Wukahilapok berada di atas bukit. Berdiri di depan pagar kantor kampung, kita bisa memandang Kota Wamena dari kejauhan. Bahkan, tugu Salib yang terletak tepat ditengah kota terlihat dari tempat ini.
Tak membutuhkan waktu lama untuk menyimpulkan hawa di kampung ini berasa lebih dingin dibanding di kota. Sekalipun matahari kembali terik bersinar, namun hembusan angin dingin tetap berasa menusuk pori – pori kulit.
Kampung Wukahilapok dihuni oleh beberapa marga, dan yang paling mendominasi ialah marga Wuka dan marga Hilapok.
Dan, kami di terima dengan baik oleh bapak Kepala Kampung. Berhubung di tempat ini tidak ada penginapan, kami pun menginap di kantor kampung. Kebetulan kantor kampung ini sudah selesai di bangun namun belum di fungsikan, sehingga ruangan yang ada untuk sementara difungsikan sebagai kamar.
By the way, di tempat ini belum ada listrik dan sangat mengandalkan air hujan sebagai air bersih/ air minum. Meski demikian, saya sangat bersyukur diijinkan bermalam di kampung ini dan sejenak merasakan kehidupan sehari – hari warga kampung.
Dinginnya udara malam itu ditambah dengan hujan turun rintik membuat hawa berasa semakin dingin dan lembab. Untuk mengatasi udara dingin, kami berkumpul di dapur dan duduk melingkari perapian.
Sembari membakar petatas kami pun berbagi cerita diselingi gelak tawa, untuk memecahkan hawa dingin dan menciptakan kehangatan dalam kebersamaan di malam itu.
Harum aroma petatas dan ubi bakar membuat ‘kampung tengah’ (baca: perut) semakin keroncongan dan ketika dihidangkan kami seolah berlomba dengan udara dingin. Petatas dan ubi bakar rasanya nikmat sekali selagi masih panas apalagi jika ditemani dengan kopi panas. hmmm….

Setelah semalam bergumul dengan dingin, pagi hari pun tiba. Sejenak menikmati hawa pagi dengan berolahraga ringan di halaman kantor kampung. Dari tempat ini kita bisa melihat kabut masih menyelimuti kota Wamena. Kabut perlahan mulai memudar dengan munculnya sang surya.
Nah! Setelah menginap semalaman disini, kami pun memulai aktivitas. Yup, kedatangan kami ke kampung ini untuk menggarap film dokumenter yang mengangkat tema tentang Noken.
Lokasi syuting berada ‘cukup dekat’ dari kantor kampung, yakni di atas bukit dan lokasi lainnya berada di bukit sebelahnya. Untuk bisa sampai ke sana, tak ada cara lain selain jalan kaki melewati jalan setapak.

Tentang jalan setapak yang kami lalui….mamayo…jang tanya lae…de pu jalan itu terjal dan curam. Bagi warga di kampung ini jalan setapak yang biasa mereka lalui adalah hal biasa, tapi bagi saya ini menjadi pengalaman yang luar biasa.
Dari satu pemukiman (honai) ke pemukiman lainnya jaraknya cukup lumayan, karena harus naik turun bukit dan melewati sungai kecil di tengah hutan. Di beberapa bagian medannya pecek dan licin, sehingga kami harus berhati – hati.
Saya bersyukur atas keramahan dan kebaikan warga kampung yang mengantar kami dan membantu mengangkut barang – barang sehingga perjalanan menjadi lebih ringan. Selain itu, indahnya alam Jayawijaya dan udara segar nan bersih menjadi obat yang mujarab untuk mengatasi rasa penat.
Special thanks to Miki Wuka n family **Catatan Kaki tentang lokasi syuting film dokumenter di Kampung Wukahilapok, awal November 2019**
Kategori:Beranda
Wah seru banget. Pingin gitu kalau liburan pergi ke tempat yg masih asri alamnya. By the way, noken itu yg ditenun itu ya ?
SukaSuka
Halo Rahma Frida. Noken bukan di tenun tetapi dirajut. Dalam artikel berikut ada cara pembuatan noken. https://imajipapua.com/2017/12/28/mengapa-harga-noken-cukup-mahal/
SukaDisukai oleh 1 orang
Oh dirajut 😀 terima kasih
SukaSuka