Info Wisata

FESTIVAL HELAY MBAY HOTE MBAY MENGAJARKAN ARTI KEKELUARGAAN

Festival Hela Mbay Hote Mbay atau yang lebih popular dijuluki festival makan papeda bersama kembali digelar tahun ini. Berlangsung selama 3 hari dari 28 – 30 September 2019, festival ini menghadirkan sesuatu yang berbeda dari festival lainnya.

Mengunjungi festival Hela Mbay Hote Mbay di Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Sentani Tengah, Kabupaten Jayapura, pengunjung diajak untuk menikmati suasana tradisional dalam balutan tradisi Abar – Sentani.

Pondok – pondok kayu beratapkan daun rumbia digunakan sebagai stand untuk men-display produk khas Kampung Abar diantaranya kuliner tradisional, ukiran, noken dan gerabah. Yup, gerabah adalah produk unggulan kampung Abar.

Gerabah Kampung Abar

Abar adalah satu – satunya kampung di pesisir danau Sentani, bahkan mungkin di Papua, yang memiliki tanah liat dan membuat berbagai jenis kerajinan tangan dari tanah liat seperti belanga tanah yang dalam bahasa Sentani disebut ‘helay’. Ada pula ‘hote’ atau piring ikan, ‘hiloy’ atau garpu kayu dan sagu forno (tembikar untuk membakar sagu).

“Kerajinan tangan ini dibuat oleh ibu – ibu Kampung Abar. Kerajinan ini menjadi ciri khas kami,” kata Naftali Felle, penyelenggara festival.

Selain memamerkan gerabah khas kampung Abar, festival Helay Mbay Hote Mbay yang ke-3 ini mengajak pengunjung untuk sejenak merasakan sentuhan kehidupan sehari – hari warga Danau Sentani. Festival mengenalkan kepada pengunjung cara menokok dan meramas sagu, bagaimana cara membuat gerabah/ tembikar dan pada puncak acara diselenggarakan makan papeda bersama menggunakan seperangkat peralatan makan tradisional.

“Puncak acara festival Hote Mbay Helay Mbay kita makan bersama; satu sempe dan satu piring ikan. Dengan kita makan bersama disana ada kebersamaan. Orang Jawa, orang Kalimantan, orang Papua kita diikat oleh tali persaudaraan. Kita makan pakai sempe, di sempe ada motif lingkaran yang menandakan kekeluargaan,” terang Naftali Felle.

Selain makan papeda bersama, ada satu terobosan yang dilakukan oleh penyelenggaran festival, yakni meluncurkan briket Ikeraykelle yang ramah lingkungan sebagai pengganti minyak tanah dan kayu bakar.

“Briket terbuat dari kulit pohon sagu yang habis diambil patinya, lalu dibakar dalam wadah drum bekas agar waku jadi arang gampang dihancurkan selagi masih panas. Selanjutnya, bikin papeda encer dan mencampurkannya dengan arang yang sudah ditumbuk halus tadi lalu dimasukkan ke dalam mal atau wadah. Selanjutnya dijemur sampai kering. Briket ini tahan hingga 7 jam lamanya,” terang Andre Liem, aktivis lingkungan yang terlibat dalam penyelenggaraan festival.

Pengunjung festival pun diajak untuk menyaksikan cara memasak sagu bakar menggunakan seperangkat alat masak tradisional, yakni tungku api dan sagu forno  yang terbuat dari tanah liat dengan bahan briket kulit sagu sebagai bahan bakarnya.

Penyelenggaraan festival tahun ini cukup menarik antusiasme pengunjung termasuk wisatawan asing yang turut serta dalam pesta makan papeda bersama.

Kampung Abar di tepi danau Sentani

Kategori:Info Wisata

1 reply »

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.