Catatan 1 Oktober 2019. Wamena, nama kota ini belakangan kerap disebut oleh media karena ‘kejadian pilu tragedi kemanusiaan’ yang menghentakkan se-Indonesia. Berawal dari demo rasisme, berlanjut dengan anarkisme dan berujung pada eksodus warga pendatang. Ramainya video yang viral di media sosial dan semakin di ramaikan oleh komentar netizen menggelitik saya untuk menuliskan catatan ini, karena saya yakin sebagian yang turut berkomentar pun belum tentu pernah menginjakkan kaki di Wamena.
Kota Wamena terletak di ketinggian 1800 mdpl, membentang di lembah Baliem dan diapit oleh barisan pegunungan Jayawijaya. Kota Wamena adalah ibu kota kabupaten Jayawijaya.

Sementara ini, akses terbaik dari dan menuju kota dingin Wamena ialah melalui jalur udara alias menggunakan pesawat. Pemerintah memang tengah membangun ruas – ruas jalan trans Papua, sehingga nantinya beberapa kabupaten terkoneksi melalui jalur darat. Meski Jayapura dan Wamena saat ini sudah terhubung, namun belumlah banyak yang melalui karena medan yang terjal. Selain itu, perjalanan darat membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga jalur transportasi udara masih menjadi pilihan utama.
Saya pertama kali mengunjungi di Wamena pada tahun 2008 silam, ketika mendapatkan penugasan dari kantor untuk melakukan peliputan tentang kopi Wamena.

Dan, saya sangat terkesan ketika menginjakkan kaki di Wamena untuk pertama kalinya. Wamena kota dengan sisi – sisi ekstosisme bernuansa sejuk. Savana yang hijau membentang bak permadani, dengan ilalang yang tinggi menjulang. Panasnya sinar mentari yang menerpa tubuh seketika terhapus dengan sejuknya angin Kurima yang lembut berhembus.
Konon kabarnya kata Wamena berasal dari 2 kata yakni ‘wam’ yang berarti babi dan ‘ena’ yang berarti anak peliharaan. Wamena berarti anak babi peliharaan. Wam atau babi memang menjadi bagian dari tradisi dan keseharian suku – suku asli Wamena.
Kota dingin Wamena ialah jantung Pegunungan Tengah Papua. Bandara Wamena menjadi tempat transit yang terhubung dengan bandara – bandara perintis lainnya di pedalaman Papua.
Saat ini, akses jalan darat juga sudah menghubungkan Wamena dengan beberapa kota di kabupaten lainnya di wilayah Pegunungan Tengah Papua, sebut saja Wamena – Karubaga (Kab. Tolikara), Wamena – Yalimo atau Wamena – Kenyam (Kab. Nduga).
Dalam dunia pariwisata, nama Wamena juga telah mendunia. Setiap tahunnya diadakan Festival Lembah Baliem yang telah tercatat dalam kalender event nasional bahkan internasional. Moment ini selalu menyerap kunjungan wisatawan baik wisatawan domestik maupun turis asing.
Kota Wamena juga memiliki beberapa destinasi wisata yang popular, misalnya saja pasir putih Wamena, mumi Wim Motok Mabel ataupun goa Lokale yang terkenal. Ada juga tradisi bakar batu khas pegunungan tengah yang selalu menarik perhatian atau rumput ungu yang selalu tumbuh di bulan Mei, dan kami disini menyebutnya rumput Mei. Beberapa artikel wisata tentang Wamena telah diterbitkan di halaman ini.

Masih banyak sisi – sisi lain yang menarik tentang Wamena. Di sepanjang jalan di kota ini sangat mudah kita menjumpai becak. Yup, becak bukan hanya ada di Jawa, tapi ada pula di Wamena. Bahkan Wamena menjadi satu – satunya kota di Papua yang memiliki becak. Berkeliling kota Wamena dengan menggunakan becak menjanjikan pengalaman tersendiri.
Akh, ada begitu banyak kisah yang bisa diceritakan tentang Wamena….tentang bunga – bunga kertas dan kopi asli yang selalu menjadi souvenir andalan…tentang honai-nya… tentang kaum perempuan suku Dani yang ulet bekerja di kebun, menganyam noken, berjualan markisa di pasar Jibama atau berfoto dengan penduduk asli yang masih mengenakan koteka menjadi suatu hal yang menarik wisatawan. Tentang lezatnya kuliner udang selingkuh. Tentang sungai Baliem dengan jembatan gantungnya… tentang keramahan dan arti persahabatan ‘hitam-putih keriting-lurus’…tentang anak – anak yang selalu bangga terlahir dan besar di Wamena sehingga menyebut diri mereka Labewa …tentang bermain dan tertawa bersama di pinggir landasan bandara.

Wamena memiliki keanggunan yang sulit terlupakan dan memori indah untuk diceritakan kembali.
Catatan ini saya tuliskan dengan sebuah harapan yang besar agar kota ini segera dipulihkan pasca demo yang berujung anarkis pada (23/9/2019).
Jika hari ini kita menitikkan air mata karena sebuah tragedi, besok…lusa dan hari – hari berikutnya kita akan menuliskan sejarah di lembar yang baru tentang cinta, asa dan persahabatan di sebuah kota yang bernama Wamena.

Note: untuk mengenang keindahan Wamena saya sengaja memposting dengan foto – foto lama (2008)
Penulis: Yulika Anastasia (Founder Imajipapua.com)
Kategori:My Story