Jelajah Negeri

Jelajah Meepago Bag. 3 – Menyapa Anak – Anak Kabut Kampung Modio di Mapia Tengah

Dari Distrik Moanemani, Kabupaten Dogiyai, saya bersama tim melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi perkebunan kopi milik masyarakat. Salah satu tujuan kami ialah kampung Modio, Distrik Mapia Tengah.

Sebenarnya kampung ini hanya berjarak sekitar 40 km dari Moanemani, namun perjalanan ke sana membutuhkan waktu lebih dari satu jam perjalanan. Modio berada di ketinggian 1700-an meter diatas permukaan laut, dengan jalan terjal nan curam, belum teraspal dan berkabut.

Dari informasi yang kami dapat, disana ada rumah pastoran  di sekitar daerah tersebut, yang memproduksi kopi. Nah, kesanalah tujuan kami sebenarnya!

Mobil fortuner yang membawa kami pun melaju dengan sangat hati – hati, melewati perkampungan dan hutan yang berada di sisi kiri kanan jalan. Di beberapa ruas jalan sangat licin dan di beberapa titik berlumpur. Bahkan kami harus melewati badan jalan yang tertimpa longsoran.

Udara menjadi berasa lebih dingin ketika memasuki kampung Modio, selain itu jarak pandang hanya mencapai beberapa meter kedepan. Hari itu, jam dua siang kabut turun hingga ke tanah. Bagi mereka hari – hari berselimutkan kabut, mungkin adalah hal biasa, namun bagi saya ini pengalaman luar biasa.

Di tengah kampung, mobil pun menepi dan untuk sejenak saya merasakan sensasi ‘negeri di atas awan’.

Terus terang, saya orang kota, dan cukup sulit bagi saya membayangkan bagaimana warga hidup disini; daerah yang cukup terpencil, jalan yang belum teraspal, tanpa penerangan listrik, tanpa sinyal telepon dan internet. Barangkali, menikmati hangatnya sinar matahari pun jarang dirasakan. Sungguh, saya menghormati warga yang sejak turun temurun tinggal dan hidup di kampung ini.

Di balik kabut, anak – anak bermain dengan riang gembira. Akh, mungkin udara dingin dan cuaca yang berkabut sudah terbiasa bagi mereka. Entahlah apakah anak – anak ini bersekolah atau tidak, yang saya yakini alam sedang mengajarkan banyak hal kepada mereka, sama seperti alam mengajar para orang tuanya.

Saya pun berusaha mendekati mereka, sebagian malu – malu dan berlari menjauh, namun ada pula yang tak canggung mendekat. Tak ada buah tangan yang kami bawa, kebetulan hanya ada permen di dalam tas, yang saya berikan untuk anak – anak ini.

Usai mengabadikan moment ini, perjalanan pun berlanjut hingga terhenti di kali. Rupanya, pemerintah sedang membangun jembatan yang menghubungan dua wilayah. Kata Om Feri, warga asli yang mengantarkan kami keliling, masih ada tiga distrik lainnya di sebelah jembatan.

Jika jembatan rampung dikerjakan, maka akses isolasi akan segera terbuka. Selama ini warga menyebrang menggunakan jembatan gantung yang dibangun di atas air kali yang mengalir deras.

jembatan kali modio

Jembatan penghubung dua distrik

jalan di urat - urat gunung

Jalan di seberang kali, jalanan terjal di urat – urat gunung

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, sebenarnya tujuan kami adalah rumah pastoran yang terletak sekitar dua kilometer dari jembatan. Namun karena situasi dan kondisi jalan yang memang belum dapat ditembus, kami pun memutuskan untuk kembali.

Note: ternyata sangat tidak mudah untuk membawa hasil alam seperti kopi ataupun hasil alam lainnya untuk di bawa ke kota. Kami datang ingin membeli kopi, masih adakah kebun kopi di seberang jembatan?

Kategori:Jelajah Negeri, Story

Tagged as:

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.