Sejak jaman Belanda, Kota Moanemani di Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai telah terkenal sebagai penghasil kopi. Bahkan, kopi dari daerah ini diminati oleh pecinta kopi dari Eropa. Pada masa itu, mereka mengenal kopi Moanemani dari pilot – pilot asing dan kaum misionaris yang bekerja di Papua.
Hingga kini, harum aroma kopi Moanemani masih tetap diingat oleh para pecinta kopi sejati. Bahkan, cukup banyak pembeli yang rela jauh – jauh mengunjungi Moanemani untuk membeli langsung dari sumbernya.
Sayangnya produksi kopi Moanemani tidak sebanyak dulu, para produsen kopi sering kehabisan stock. Mereka mengaku permintaan kopi dari pasaran meningkat, namun supply kopi dari para petani cenderung stagnan, sehingga tak sanggup memenuhi permintaan pasar.
Saat berada di Lembah Kamuu, saya bersama dengan tim kopi dari Jakarta mengunjungi beberapa titik penghasil kopi.
Salah satu produsen kopi yang kami kunjungi ialah Bapak Didimus Tebay. Ia menerima kami di rumah penggilingan kopi miliknya yang terletak di Distrik Moanemani.
Sembari ngopi, Pak Didimus berkisah tentang bagaimana misionaris di masa lalu mengajarkan cara berkebun kopi hingga memproduksi kopi bubuk melalui program P5 yang terkenal di wilayah itu.
Tak hanya itu, ia mengaku telah mengajarkan teknik budidaya kopi pada generasi kedua dan generasi ketiga. Kini, diusianya yang telah lanjut, 68 tahun, Didimus masih setia untuk mengembangkan perkebunan kopi miliknya. Tak hanya berkebun, ia juga memproduksi kopi bubuk menggunakan mesin tua miliknya.
Dengan sorot mata yang berbinar dan keriput yang menghiasi wajahnya, ia menyampaikan harapannya tentang masa depan kopi Moanemani.
“Selama saya hidup, saya berkomitmen untuk mengembangkan kopi,” ujarnya.
Untuk produksi kopi, ia mengaku kapasitas mesin roasting miliknya hanya mampu menampung maksimal 16 kg biji kopi. Dan rumah penggilingan kopi miliknya, belum tentu setiap hari beroperasi.
Sorot mata yang berbinar itu mendadak menjadi meredup, ketika menceritakan betapa ia menerima cukup banyak pesanan baik kopi bubuk maupun kopi gabah (green bean), namun tidak sanggup memenuhinya karena hasil kebun yang berkurang.
Ia mengeluhkan jumlah petani yang berkurang serta regenerasi petani yang minim. Menurutnya, anak – anak muda jaman sekarang sudah tidak mau lagi bekerja di kebun kopi dan cenderung memilih untuk menjadi ASN atau bekerja di kota – kota besar.
Selain mengunjungi rumah penggilingan kopi milik Didimus, kami juga mengunjungi rumah kopi milik Bapak Hanock Pigai yang ada di Kampung Idakotu.
Sama seperti pak Didimus, pak Hanock juga mengolah kopi. Ia membeli buah kopi dari para petani kemudian mengolahnya, dengan proses natural dan honey proses.
Produk kopi milik Pak Hanok bermerk “Kopi Deiyai”, dengan 3 varian produk yakni light, medium dan darkness. Ia mengolahnya sesuai dengan pesanan atau permintaan pembeli.
Saya sendiri tak tahu banyak soal selera dan cita rasa kopi. Kata ahlinya, yang kebetulan bersama dengan rombongan, Pak Agus Saryono dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), rasa kopi dipengaruhi oleh tanaman sela atau tanaman lain yang tumbuh di sekitar tanaman kopi, misalnya saja jeruk, alpukat, pisang, dll.
Sayangnya, lidah saya belum bisa membedakan soal rasa. Perlu waktu bagi saya untuk menilai rasa kopi. Penilaian Pak Agus, secara umum kualitas kopi yang tumbuh di Lembah Kamuu dan daerah sekitarnya ialah excellent.
Tak cukup mencecap kopi “P5” produksi Pak Didimus Tebay dan kopi “Deiyai” milik Pak Hanok Pigay, kami pun melanjutkan ‘perburuan’ kopi ke lumbung berikutnya pada hari selanjutnya.
Berdasarkan informasi yang kami dapat, kami pun mengunjungi Distrik Mapiha yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dari Kota Moanemani.
Rumah pastoran gereja Katolik Paroki Bomomani, telah dikenal sebagai produsen kopi. Kami diterima oleh Ibu Helena, pekerja pastoran, yang kebetulan sedang men-sortir kopi.
Dengan ramah ia melayani kami yang banyak bertanya seputar kopi, bahkan ia menunjukkan alat pengolahan kopi milik mereka. Sayangnya pada hari itu, mesin sedang tidak beroperasi karena pastor yang ahli me-roasting kopi sedang berada di luar kota.
Kopi produksi pastoran dengan merk “Kopi Mapiha”, dibagi dalam tiga grade, yakni classic, medium dan premium. Menurut Ibu Helena, mereka mendapatkan banyak pesanan dari luar kota, khususnya Jakarta. Rumah pastoran ini menjual kopi dalam bentuk bubuk dan roasting coffee.
Sambil berbincang, ibu Helena mengijinkan kami untuk menyeduh kopi sendiri. Secangkir kopi sungguh harum aromanya di tengah gerimis yang turun tiba – tiba. Ditambah dengan sekerat roti gandum yang dihidangkan olehnya, kami sungguh merasakan keakraban padahal baru pertama kali berjumpa.
Sebenarnya saya bukan pecinta kopi. Dari perbincangan sembari ngopi di tiga tempat berbeda di Lembah Kamuu, sepertinya saya mulai jatuh cinta pada kopi. Mari ngopi bersama!
Kategori:Jelajah Negeri, Story