
Hutan Perempuan “Tonotwiyat” di Kampung Enggros
Di Kota Jayapura, setiap sudutnya indah dan mempesona. Di tengah hingar bingar keramaian kota, masih tersimpan misteri yang tersembunyi.
Pertama kali mendengar tentang hutan perempuan dari Kepala Kampung Enggros, Bapak Orgenes Meraudje. “Wah, tempat ini membuat saya penasaran, suatu saat saya harus kesana”, pikirku waktu itu.
Sekian waktu berselang, saya bersama teman – teman Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Papua, pun mengunjungi tempat ini dalam rangka Hari Kartini.
Dari dermaga pantai Bebek, Hamadi, kami menyebrang menggunakan speedboat diantar oleh Bapak Orgenes menuju dermaga kampung Enggros. Di dermaga, kami singgah sebentar menunggu seorang mama datang, untuk selanjutnya mengantar kami menyusuri hutan. Pasalnya, hutan perempuan terlarang dimasuki oleh kaum pria, jadi speedboat yang kami tumpangi harus dikemudikan oleh seorang wanita.
Hutan perempuan dalam bahasa lokal disebut “Tonotwiyat”, adalah hutan mangrove yang menghampar seluar 8 hektar. Lokasi hutan ini tak jauh dari pemukiman warga di kampung Enggros.
Di tempat ini biasanya mama – mama mencari bia, kepiting dan ikan. Di balik rerimbunan mangrove, kami berjumpa dengan tiga orang mama yang tengah berendam di rawa bakau.
Mereka menyambut kedatangan kami dengan ramah, dan kami pun ngobrol dengan suasana yang hangat. Mama Ani Meraudje (65 thn), Mama Nela Hababuk (62 thn) dan Mama Agustina Iwo (45 thn) tak berkeberatan kami mengabadikan cara mereka mencari bia.

Mama Ani Meraudje (65 thn), Mama Nela Hababuk (62 thn) dan Mama Agustina Iwo (45 thn) saat mencari bia. Hasil yang diperoleh mereka simpan di kole – kole (perahu tradisional)
Nah, ini dia bagian yang paling menarik, karena cara mereka sangat unik. Mama – mama mencari bia tanpa mengenakan busana. Kaki mereka meraba dasar air, jika dirasa menemukan bia, langsung dijepit dengan jari kaki dan diangkat ke permukaan.
Cerita Mama Ani Meraudje, cara demikian sudah dipakai sejak jaman nenek moyang. “Kalau tanpa busana, lebih cepat dapat bia. Kalau memakai pakaian, badan menjadi gatal,” katanya.
Dituturkannya, di hutan perempuan ini biasanya para mama bekerja sambil bercerita mengenang kisah masa lalu, bercanda dan tertawa. Laki – laki dilarang memasuki tempat ini, jika mereka masuk dan terlihat oleh perempuan akan diberi sanksi adat, yakni berupa manik – manik.
Oh ya, manik – manik adalah harta berharga bagi suku asli Enggros, biasanya dipergunakan saat membayar mas kawin.

Bia (kerang) dalam bahasa Enggros disebut Nor
Melihat cara mama – mama bekerja, saya jadi terkesan. Sungguh mereka adalah para perempuan hebat yang gigih bekerja diantara lumpu rawa bakau. Ehmm, jika saya sendiri yang melakukannya, mungkin saya akan masuk angin, minimal saya terkena flu.
Nah, setelah puas berbincang dengan mama – mama dan menikmati keindahan hutan mangrove, kami pun segera kembali ke kampung Enggros. Namun sebelumnya, kami pun berselfi-ria terlebih dahulu.

Saya bersama rekan – rekan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Papua
Keluar dari hutan mangrove, terselip seuntai doa dalam hati saya: semoga mama – mama selalu sehat dan tetap berkarya. Semoga hutan mangrove sumber pangan lokal tetap terjaga dan terus lestari.
Selamat Hari Kartini para perempuan hebat! Tetaplah semangat dalam berkarya. Kita untuk negeri ini!
Kategori:Jelajah Negeri, Story
Sehat selalu bwt mama mama.
Cara nangkap bianya jg unik bgd ya Mbk. Seruuuu deh nih kayaknya.
Makasih bnyak ya mbk sdh diajak jln2 ke hutan perempuan di Jayapura.
SukaSuka
sama-sama mbak inda. salam kenal. salam dari jayapura
SukaSuka
Interesting pengalamannya mba, kalau terjadi di luar Papua, bakalan banyak papa-papa yang menonton mama-mama cari Bia hahahahaha
SukaSuka
Hahahhaaaa…..makasih mas moko. Hutan ini khusus untuk perempuan heheheeeee
SukaSuka
silakan liat versi videonya disinya.
SukaSuka